Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun
kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku
dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan
itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.
Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.
Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.
Istriku, jujur aku katakan bahwa keberadaanmu sebagai istri bagiku kurasakan sangat penting bagi diriku, akalku, hati serta jiwaku. Bahkan sangat penting bagi kehidupanku juga setelah kematianku. Maka kutuliskan suratku ini untukmu, semoga engkau benar-benar mengerti betapa tingginya kedudukanmu sebagai seorang istri, betapa beratnya wasiat agama kita yang telah dibebankan kepadaku setelah aku menikahimu, dan betapa berartinya dirimu bagiku, suamimu.
Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau laksana permata yang sangat berharga yang tadinya aku tak tahu dimana engkau berada dan ke mana aku harus mencari. Sungguh dunia ini penuh dengan perhiasan, sampai aku tidak kuasa memilih perhiasan mana yang harus kuambil untuk kumiliki, sampai akhirnya Allah azza wajalla memberikan petunjuk kepadaku, suamimu ini, yang telah payah dan lelah mencarimu sampai akhirnya aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai istri. Aku tidak mengada-ada untuk sekedar membesarkan hatimu,
“Dunia ini tiada lain hanyalah perhiasan, dan tak ada satu pun dari perhiasan dunia ini yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah.”
Semoga engkau mengerti ini…
Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau adalah sumber kebahagiaan dan penderitaanku. Engkau adalah penghias rumah tempat tinggalku dan kendaraan mewahku, dan engkau adalah sebaik-baik tetanggaku. Aku tidak mengada-ada untuk mendapat tempat di hatimu
“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan; istri sholihah, rumah yang lapang nan luas, tetangga yang sholih dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang jelek (akhlaknya), istri yang jelek (akhlaknya), rumah yang sempit dan kendaraan yang tak nyaman.”
Istriku, tahukah kau bahwa aku bisa berbahagia bersamamu dan bisa sengsara lagi menderita olehmu? Bukan aku tidak percaya kepadamu bahwa engkau akan membahagiakanku, tentunya engkau bisa memilih. Sebab, aku sudah tahu engkau adalah seorang wanita yang memiliki kecerdasan, apakah engkau akan menjadi sumber kebahagiaanku atau menjadi sumber penderitaanku? aku berbahagia bersamamu di atas keberkahan hidup bersamamu yang telah dianugerahkan kepadaku, tentunya juga kepadamu. Aku merasa bahagia meski menurut orang lain aku sengsara, aku tidak menyesali banyaknya penderitaan, namun aku sangat berharap keberkahannya. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, jujur kukatakan bahwa tiada sebuah rumah pun yang akan kupandang indah dan kurasa nyaman meski seluas apapun rumah itu bila aku tinggal di dalamnya tanpamu. sungguh aku bangga padamu, istriku, karena kini aku rasakan rumahku begitu teduh, tentram dan nyaman bagiku setelah engkau yang menjadi pendampingku sejak pernikahan dulu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, jujur kukatakan, tiada kendaraan mewah yang nyaman aku kendarai meski apapun jenisnya dan berapa rupiah pun harganya jika engkau tidak bersamaku di atas kendaraan itu. sebab aku merasa tiada tetangga yang berdampingan denganku saat ini, baik di rumahku maupun di kendaraanku yang kurasakan kesholihannya selain dirimu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, sejujurnya kukatakan, bagiku engkau adalah ukuran kebaikanku di duniaku. Semoga engkau tahu dan memahami ini. Betapa berat amanah yang telah dipikulkan di atas pundakku setelah aku menikahimu. Aku diwasiati untuk menjagamu, bahkan aku diingatkan sekali lagi dan berikutnya dan berikutnya demi kebaikanmu. Aku mengetahui hal ini bukan sekedar mengikuti perasaanku, juga bukan berdasarkan buaian mimpiku, bukan pula dari lamunan dan khayalanku. Namun aku mengerti dan paham lalu seyakin-yakinnya aku yakini dari sabda seorang manusia yang tidak didustakan kabarnya dan tidak dimaksiati perintahnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Tahukah dirimu bahwa beliau telah menjadikan bagaimana caraku mempergaulimu dalam kebersamaan ini sebagai tanda baik buruknya akhlakku? Beliau pernah bersabda:
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya”
Oleh karenanya, istriku, aku tidak ingin menjadi seorang yang berakhlak buruk sebab tidak bisa berbuat baik kepadamu, dan aku berharap engkau membantuku agar aku bisa memperbaiki akhlakku, (yaitu) dengan memudahkan caraku agar bisa berbuat baik kepadamu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, bila engkau mendapati kebaikanku, sesungguhnya aku tidak berharap perhatianmu, aku juga tidak berharap pujianmu. Namun, aku hanya ingin semoga Alloh azza wajalla menjadikanmu istri yang sholihah yang berbuat baik kepadaku. Dan, bila engkau mendapatiku tidak berbuat baik kepadamu, semoga kesholihanmu bisa membuka pintu maafmu bagiku, dan semoga Alloh subhanahu wata’ala Yang di atas sana memaafkan kekhilafanku.
Istriku, sebenarnya masih banyak yang ingin aku goreskan dalam lembaran ini. Namun, aku cukupkan dengan mengatakan di ujung suratku ini, bahwa pada akhirnya engkau adalah pelabuhan bahteraku yang aku akan merasa tenang setelah tadinya jiwaku diliputi kecemasan dan ketakutan akan dalam dan dahsyatnya gelombang samudra kehidupan saat masih sendiri sebelum kehadiran seorang istri, dan bagiku ialah dirimu. dan semoga Dia memberkahi hari-hari kita berdua, dalam suka maupun duka.
Dari yang mencintaimu karena Alloh dan untuk Allah subhanahu wata’ala,
aku, suamimu.
Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu apakah engkau juga sangat membutuhkan aku, suamimu, wahai istriku? Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka. Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia, bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.
Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu, meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.
Istriku, jujur aku katakan bahwa keberadaanmu sebagai istri bagiku kurasakan sangat penting bagi diriku, akalku, hati serta jiwaku. Bahkan sangat penting bagi kehidupanku juga setelah kematianku. Maka kutuliskan suratku ini untukmu, semoga engkau benar-benar mengerti betapa tingginya kedudukanmu sebagai seorang istri, betapa beratnya wasiat agama kita yang telah dibebankan kepadaku setelah aku menikahimu, dan betapa berartinya dirimu bagiku, suamimu.
Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau laksana permata yang sangat berharga yang tadinya aku tak tahu dimana engkau berada dan ke mana aku harus mencari. Sungguh dunia ini penuh dengan perhiasan, sampai aku tidak kuasa memilih perhiasan mana yang harus kuambil untuk kumiliki, sampai akhirnya Allah azza wajalla memberikan petunjuk kepadaku, suamimu ini, yang telah payah dan lelah mencarimu sampai akhirnya aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai istri. Aku tidak mengada-ada untuk sekedar membesarkan hatimu,
“Dunia ini tiada lain hanyalah perhiasan, dan tak ada satu pun dari perhiasan dunia ini yang lebih utama daripada seorang istri yang sholihah.”
Semoga engkau mengerti ini…
Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau adalah sumber kebahagiaan dan penderitaanku. Engkau adalah penghias rumah tempat tinggalku dan kendaraan mewahku, dan engkau adalah sebaik-baik tetanggaku. Aku tidak mengada-ada untuk mendapat tempat di hatimu
“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan; istri sholihah, rumah yang lapang nan luas, tetangga yang sholih dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang jelek (akhlaknya), istri yang jelek (akhlaknya), rumah yang sempit dan kendaraan yang tak nyaman.”
Istriku, tahukah kau bahwa aku bisa berbahagia bersamamu dan bisa sengsara lagi menderita olehmu? Bukan aku tidak percaya kepadamu bahwa engkau akan membahagiakanku, tentunya engkau bisa memilih. Sebab, aku sudah tahu engkau adalah seorang wanita yang memiliki kecerdasan, apakah engkau akan menjadi sumber kebahagiaanku atau menjadi sumber penderitaanku? aku berbahagia bersamamu di atas keberkahan hidup bersamamu yang telah dianugerahkan kepadaku, tentunya juga kepadamu. Aku merasa bahagia meski menurut orang lain aku sengsara, aku tidak menyesali banyaknya penderitaan, namun aku sangat berharap keberkahannya. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, jujur kukatakan bahwa tiada sebuah rumah pun yang akan kupandang indah dan kurasa nyaman meski seluas apapun rumah itu bila aku tinggal di dalamnya tanpamu. sungguh aku bangga padamu, istriku, karena kini aku rasakan rumahku begitu teduh, tentram dan nyaman bagiku setelah engkau yang menjadi pendampingku sejak pernikahan dulu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, jujur kukatakan, tiada kendaraan mewah yang nyaman aku kendarai meski apapun jenisnya dan berapa rupiah pun harganya jika engkau tidak bersamaku di atas kendaraan itu. sebab aku merasa tiada tetangga yang berdampingan denganku saat ini, baik di rumahku maupun di kendaraanku yang kurasakan kesholihannya selain dirimu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, sejujurnya kukatakan, bagiku engkau adalah ukuran kebaikanku di duniaku. Semoga engkau tahu dan memahami ini. Betapa berat amanah yang telah dipikulkan di atas pundakku setelah aku menikahimu. Aku diwasiati untuk menjagamu, bahkan aku diingatkan sekali lagi dan berikutnya dan berikutnya demi kebaikanmu. Aku mengetahui hal ini bukan sekedar mengikuti perasaanku, juga bukan berdasarkan buaian mimpiku, bukan pula dari lamunan dan khayalanku. Namun aku mengerti dan paham lalu seyakin-yakinnya aku yakini dari sabda seorang manusia yang tidak didustakan kabarnya dan tidak dimaksiati perintahnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Tahukah dirimu bahwa beliau telah menjadikan bagaimana caraku mempergaulimu dalam kebersamaan ini sebagai tanda baik buruknya akhlakku? Beliau pernah bersabda:
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya”
Oleh karenanya, istriku, aku tidak ingin menjadi seorang yang berakhlak buruk sebab tidak bisa berbuat baik kepadamu, dan aku berharap engkau membantuku agar aku bisa memperbaiki akhlakku, (yaitu) dengan memudahkan caraku agar bisa berbuat baik kepadamu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, bila engkau mendapati kebaikanku, sesungguhnya aku tidak berharap perhatianmu, aku juga tidak berharap pujianmu. Namun, aku hanya ingin semoga Alloh azza wajalla menjadikanmu istri yang sholihah yang berbuat baik kepadaku. Dan, bila engkau mendapatiku tidak berbuat baik kepadamu, semoga kesholihanmu bisa membuka pintu maafmu bagiku, dan semoga Alloh subhanahu wata’ala Yang di atas sana memaafkan kekhilafanku.
Istriku, sebenarnya masih banyak yang ingin aku goreskan dalam lembaran ini. Namun, aku cukupkan dengan mengatakan di ujung suratku ini, bahwa pada akhirnya engkau adalah pelabuhan bahteraku yang aku akan merasa tenang setelah tadinya jiwaku diliputi kecemasan dan ketakutan akan dalam dan dahsyatnya gelombang samudra kehidupan saat masih sendiri sebelum kehadiran seorang istri, dan bagiku ialah dirimu. dan semoga Dia memberkahi hari-hari kita berdua, dalam suka maupun duka.
Dari yang mencintaimu karena Alloh dan untuk Allah subhanahu wata’ala,
aku, suamimu.